Tampilkan postingan dengan label Karya. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Karya. Tampilkan semua postingan



pagi menyusun kenangan dalam rak lemari kayu
takut seketika nanti malam datang,
ia nya hilang bersama cicit tikus rakus dan memakannya
tlah bersama berbilang waktu,
menjaga cinta dan cita
mengemasnya apik dengan bingkai air mata
sungguh menguras tenaga

“Dear, percepatlah langkahmu! Kita harus segera pergi!”
dititipkannya kenangan itu pada sang pemilik waktu
dan ia pun bersegera menapaki satu demi satu tangga masa depannya

saat mencapai ketinggian tiga puluh,
dilihatnya ke bawah
oh, benarlah keputusannya waktu itu
jika ia tidak melakukannya,
maka tak kan pernah ada hari ini
dimana langit dan bumi dalam genggamannya
sampai tiba penghabisan
ia berjanji tak kan pernah menyerah
iyyakan’budu wa iyyakansta’in
Sampai pada detik ini, aku baru...eh, bukan baru. Tapi...aku sendiri bingung menuliskan kalimat apa yang tepat. Intinya, kesatuan dari semua kesatuan yang ada di dalam jiwa ragaku baru berkesempatan bertemu dengan laman ini pada malam ini dan detik ini.

Sebuah kesyukuran ketika ada kesempatan ini. Banyak momen yang telah kulewati tanpa sedikitpun menorehkannya di sini. Sungguh sedih sebenarnya. Namun, percayalah. Bukan karena aku tak menulis. Tapi apa-apa yang kutulis itu bukan untuk kupublikasikan di sini. Heheh.

Awal Mei, kubuka dengan sebuah kegembiraan dan kebahagiaan karena telah dapat memenuhi janjiku untuk mengabadikan sebagian dari kehidupanku dalam sebuah buku. Yah, alhamdulillah banget. 

Judul bukunya, "17 Bintang di Lanny Jaya"

Kali ini resmi kutulis sendiri. Editting sendiri sampai-sampai menerbitkannya sendiri. Bukan aku tak memberikan ruang pada yang lain untuk menanamkan kebaikan dalam proses penerbitan bukuku ini. Tapi memang belum ada yang bisa membantu, terutama dana untuk penerbitannya. Heheh.

Tak mengapa, allah masih ngasih rezeki sama aku buat nerbitkan indie. Mudah-mudahan kedepannya aku bisa bikin buku yang lebih baik dan baik lagi dan bisa diterbitkan di penerbit mayor. Sehingga, teman-teman yang jauh di mana pun berada bisa memiliki buku karanganku. Aamiiin. Ngayal duu gapapa deh, bagian dari doa. Insyaallah ada masa nya allah akan ijabahkan sesuai dengan proses ikhtiar dan niat kita.

Ini nih, buku karyaku. Isinya adalah pengalaman mengajarku selama berada di salah satu pelosok Papua. Pegunungan tengah yang indah.

Buku ini meski belum berusia satu bulan, sudah mendarat di beberapa tempat di Indonesia lho. Mulai dari Medan, Batam, Bandung, Kepulauan Sitaro dan Papua. Tentunya Pekanbaru, Air Molek dan Riau sekitarnya deh. Buku ini gak dijual di toko buku manapun. Bagi kalian yang berminat memilikinya masih ada stoknya beberapa sama aku. Bisa kirim inbox ke facebook : kavita siregar.

Buat siapapun kalian yang sudah membaca buku ini, semoga buku ini bermanfaat yaaaa!!!


 Tiga belas tahun bukanlah waktu yang singkat. Ibarat seorang anak, ia sudah mulai masuk baligh di usia segitu. Saat itu, orang tua harus lebih ekstra dalam menjaga anaknya. Apalagi anak perempuan. Pantang. Terlarang. Usia labil untuk menentukan arah masa depan. Begitu pula dengan persahabatan kami.
“Aku akan merantau, Kawan!”
Percakapan kami pagi itu terlampau berat. Masa depan memang bukanlah sesuatu yang pasti. Tapi adalah sesuatu yang hanya bisa direncanakan dengan sebaik mungkin dan kemudian menyerahkan semuanya kepada yang maha kuasa. Aku membersihkan dedaunan kering yang jatuh dan jatuh lagi sekalipun aku sudah membersihkannya.
“Hashi!” Gadis kecil menyadarkanku bahwa ia sedari tadi ku abaikan karena mendengar curhat kawanku itu. Aku segera menujunya. Ku perbaiki masker di mulutnya. Kondisi alam masih kacau. Sudah dua minggu ini aktivitas di luar rumah banyak yang terganggu.
“Aku kasihan pada mamak dan ayah. Terlampau berat beban mereka jika aku masih disini. Anak perempuan satu-satunya, masih perawan. Di samping itu, aku ini sarjana dan masih menganggur.” Dia terdiam. Aku masih membersihkan cairan yang terus keluar dari hidung gadis kecil. “Aku harus merantau!”
Ku tatap lamat-lamat wajahnya yang tampak sedih. Jelas, aku bisa merasakan apa yang dirasakannya. Beban double. Dilema yang tengah melanda banyak sarjana hari ini. Susahnya mencari pekerjaan dan juga jodoh yang tak kunjung datang. Dia pergi meninggalkanku dengan uraian air mata.
“Mak, Kenapa Acik menangis?”  Gadis kecilku seakan ingin mengetahui.
*
Pada akhirnya dia meninggalkan kampung halamannya ini. Sebuah kota kecil yang tengah membangun kepercayaan diri untuk dapat berkembang dan bersaing dengan kota-kota kecil lainnya untuk mendapat perhatian pemerintah daerah tingkat I. Jika dia bertahan sebentar saja lagi, mungkin akan ada peluang baginya untuk mengaplikasikan ilmunya. Seperti anak-anak kampung ini.
“Itulah, Nak! Mamak tak tahu harus bagaimana terhadapnya. Kamu kan tahu kalau dia itu keras. Kamu sahabatnya sejak kecil.” Ku pandangi wajah mamak. Tentulah berjuta sedih ditinggal anak semata wayangnya. Dalam banyak hal, mungkin mamak akan memikirkan apa dikata orang. Anak semata wayang. Perawan. Sarjana. Penggangguran. Semua hal menjadi semakin diperjelas. Kabar apapun akan tersebar cepat seperti angin.
“Mamak tak menuntut apa-apa dari dia. Sebagai orang tua, adalah kewajiban untuk memberikan yang terbaik bagi anaknya. Anak tidak perlu repot ikut memikirkan tangung jawab orang tuanya. Cukup anak itu melakukan kewajibannya sebagai anak dan patuh kepada kedua orang tuanya. Tapi dia terlalu memikirkan lebih jauh.” Mamak menghela nafas. Kemudian membuang pandangan keluar.
Ayah, di luar sana tampak menyibukkan diri. Tubuhnya yang ringkih sudah cukup membuatku menangis dalam batin kala melihatnya. Lelaki bijaksana dan alim. Rambutnya sudah putih semua. Padahal jika dilihat dari usianya, masih belum terlalu tua. Namun, karena efek kerja keras semasa muda yang membuat tubuhnya sudah tak sewajar usianya.
Apalagi yang dilakukan orang tua itu di rumah selain memelihara lingkungan disamping kegiatan ibadah. Bukanlah harta dunia lagi yang dicari. Sederhana saja. Tetap berkumpul bersama keluarga kecilnya dan bahagia bersama sampai nanti bertemu surga.
“Kamu ngawur. Aku kan beda sama kamu. Lha, kamu wajar saja begitu. Orang tuaku sudah banyak menanggung derita ditambah biaya kuliahku yang banyak. Aku terlalu menyusahkan mereka. Lebih baik aku merantau dulu untuk beberapa tahun. Setelah modal terkumpul, aku akan kembali lagi ke kampung halamanku ini untuk membangun kampung ini. Pun, jika berkumpul bersama orang tua namun tak punya uang untuk apa?” Aku tersentak akan percakapan kami waktu itu. Dia memang keras. Itu karena perasaan bersalahnya yang berlebihan. Mungkin.
Gadis kecilku meletakkan kepalanya di pangkuanku. Sepertinya ia mulai mengantuk. Ku usap-usap kepalanya. Ku belai wajahnya.
“Berikan yang terbaik untuk anakmu ini. Jangan terlalu dimanja, tapi juga jangan terlalu keras. Sebagai orang tua, kewajiban kitalah untuk menafkahi hidupnya hingga dia lepas tanggungan dari kita.” Mamak memberikan petuah padaku. Aku mengangguk mengiyakan.
“Jika suatu hari nanti kita tak bertemu lagi, tolong jaga sahabatmu! Kalian adalah anak mamak dan ayah yang paling berharga. Jaga baik juga cucu mamak ini ya!” Kata perempuan tua itu sambil tersenyum.
*
Air Molek, 14 September 2015
Untuk Anak Mamak Tersayang
Sayangku, kau anak mamak dan ayah satu-satunya. Jika banyakpun harta yang kita miliki melebihi sepetak tanah dan sebuah gubuk kecil ini harus digadaikan untuk menebusmu, maka kami tak kan pernah ingkar janji kami pada Tuhan. Merawat kau, menjaga kau dan membesarkan kau. Sebaik-baik pengasuhan.
Mamak dan ayah tahu, bahwa kau adalah anak yang baik. Oleh karena itu, kau tak ingin lebih memberatkan beban mamak dan ayahmu ini. Namun, tidaklah seperti apa yang kamu pikirkan sesungguhnya. Keberadaan kau di samping mamak dan ayah adalah lebih baik daripada kau harus pergi merantau.
Perantauan itu keras, Nak. Mamak dan ayah tak kuasa dan tak tahan jika kau harus sakit dan menderita dalam perjuangan. Maaf, jika kami justru membebani pikiranmu. Tak mengapa bagi kami dengan apapun keadaanmu. Begitupun pasangan hidup. Kau sudah tahu bahwa bahkan mamak sendiri adalah gadis yang menikah dalam usia yang tak lagi muda dengan ayahmu. Bahkan mamak jauh lebih tua dari ayahmu. Namun, tentang rezki, jodoh dan juga maut tlah tercatat dalam lauh mahfuz. Tak perlu kau khawatir dan menanggapi omongan orang.
Mamak tlah banyak tinggalkan cerita. Nanti kau tanyakan saja sendiri. Kau harus lebih dewasa ya, Nak! Sepeninggal mamak dan ayah, kau akan jauh lebih dewasa. Berbuatlah yang terbaik. Jangan lupa untuk shalat tepat waktu! Mamak dan ayah slalu mendoakan yang terbaik untukmu.
Adapun peninggalan mamak dan ayah hanyalah seperti yang kau ketahui sejak dulu. Gubuk ini dan juga sepetak tanah yang slalu subur. Bisa kau tanami sayur-mayur untuk makanmu sehari-hari.
Salam sayang mamak dan ayah.
            Surat yang mamak dan ayah titipkan padaku waktu itu, tlah dibaca olehnya di tanah perantauan sana. Sederhana. Untung saja, pernah suatu ketika ia mengirimi gadis kecilku sebuah hadiah ulang tahun. Katanya itu adalah hadiah kecil yang ia persiapkan untuk kami. Sementara itu, untuk mamak dan ayahnya sendiri belum sempat ia belikan karena uangnya belum cukup. Nanti, sedikit lagi saja uangnya akan terkumpul. Ia pun akan memberitahuku bahwa paketnya akan sampai ke rumahku.
Setelah itu, aku mempunyai tugas untuk mengantarkannya kepada mamak dan ayah. Memberitahu mereka dan meyakinkan mereka bahwa dia tak pernah lupa pada mereka. Dia hanya butuh waktu sebentar saja untuk merantau. Seperti katanya, mengumpulkan modal. Kemudian kembali ke kampung halaman.
Ini sudah tiga tahun dia pergi. Juga tahun pertama sepeninggalan mamak dan ayah. Rumah mereka tetap saja sejuk dan bersih sekalipun udara luar tetap tidak bersahabat. Bulan-bulan ini musim kemarau. Dimana-mana kau tak kan menjumpai langit biru. Tanah-tanah kering. Dedaunan runtuh. Air kering. Batuk, pilek dan sesak nafas menimpa banyak warga. Penerbangan beberapa hari yang lalu sempat ditutup. Namun, hari ini sepertinya terpaksa harus dibuka. Nyatanya di ada di hadapanku kini.
“Mengapa kau sembunyikan kabar ini dariku? Mengapa tidak segera saja kau kabarkan padaku waktu itu? Apa maksudmu?” Dia berteriak sejadi-jadinya. Ada aliran deras di ujung pelupuk matanya. Seperti waktu itu juga. Waktu dia hendak meninggalkan kampung halamannya ini. Seperti waktu itu dia keras untuk merantau mencari peruntungan di tanah orang.
            “Jangan pernah kau sesali. Takkan pernah daun kering yang jatuh lalu terurai kembali menjadi daun segar di ranting pohonnya. Lihatlah mereka! Agar kau bisa merasakan apa yang sesungguhnya mereka inginkan.” Dia pun kini hanya tertunduk di atas gundukan tanah mamak dan ayah.
 
Dimuat di Xpressi Riau Pos, 07 Febuari 2016

UNTUK SEORANG TEMAN

by on Februari 29, 2016
 Tiga belas tahun bukanlah waktu yang singkat. Ibarat seorang anak, ia sudah mulai masuk baligh di usia segitu. Saat itu, orang tua h...


Aku masih berdiri di bawah derasnya hujan. Tanganku tak bersedia melepas pelukannya yang masih hangat kurasakan. Tak peduli lalu lalang kendaraan dan pejalan kaki memerhatikanku aneh atau mengata-ngatainku seenaknya.
Tapi kali ini aku benar-benar sudah tak berdaya. Badanku rebah dan tak mampu berdiri lagi. Aku tenggelam dalam duka.
*
“Ada apa denganku?” kucoba membuka mata perlahan. Samar-samar kulihat Makmuk, sapaan akrab di keluargaku untuk kakak tertua dari Bunda. Memang juga karena badannya yang besar tinggi dan rada gemuk.
Makmuk membelai rambutku. Dia mengelap wajahku dengan sapu tangan yang telah dibasahi air terlebih dahulu. Barangkali wajahku terlalu kusam.
“Ayah, Mak!” Ai sayang Ayah, Mak!” Ujarku dengan nada memaksa diri. Aku berusaha berdiri tapi ditahan.
“Ai, kamu jangan lasak dulu ya. Makmuk sudah menyiapkan sarapan untukmu. Setelah itu kita baru bisa pergi.” Kata Sam yang sedari tadi juga berdiri di sampingku. Sam adalah tunanganku. Tapi kedepan aku tak tahu bagaimana kelanjutan kisah kami.
“Aku mau bertemu Ayah. Sekarang!” Teriakku. Makmuk dan Sam justru meninggalkanku seorang diri. Mereka seakan tahu bahwa aku butuh waktu untuk menenangkan diri.
Pandanganku menembus kaca-kaca yang selama ini tempat aku sering menanti hujan. Memandangi pepohonan rimbun di seberang jalan. Ada sebuah tambak ikan yang di sana ada sebuah kolam ikan dengan berbagi jenis ikan.
Biasanya aku dan Ayah sering memberi mereka makan. Tak lama kemudian Sam juga datang dan tak mau kalah membawa makanan ikan lebih banyak. Namun sayang, sudah dua minggu ini tak pernah lagi ada cerita tentang aku, Ayah dan Sam karena suasana telah berubah. Makin lama, pandanganku jauh merambati ruang dan waktu yang tak pernah aku inginkan. Di kepalaku hanya ada kalimat seandainya, seandainya dan seandainya …
*
Dalam siarannya malam itu, Sam sengaja menyapaku melewati gelombang udara. Entah berapa jauh jarak tempuhnya, yang pasti kecepatan udara adalah lebih cepat daripada terbangnya burung untuk menyampaikan pesan.
Sam memang pandai menyanjung siapapun lewat kata-katanya yang beraliran romantisme. Tapi tak seperti Kahlil Gibran yang sangat menyanjung cinta sekalipun kekasihnya telah lama tiada, katanya setia.
Buat seseorang yang sedang mendengar siaran ini
Special, kau selalu di hatiku
Meski sampai akhir hayatku
Tiada yang bisa mengisi hati ini
Just wanna you
Hope you will marry me
Gila ya! Kali ini Sam tak tanggung-tanggung mengatakan hal itu di depan umum. Tak bisakah menunggu sejenak. Bersabar sampai waktunya tiba. Baru dua minggu, dan baru saja aku berusaha bangkit mneghapus duka. Bahkan Sam tidak sanggup. Kalimat itu adalah desakan bagiku. Bukan baru sekali Sam mengatakannya dalam minggu ini.
Aku muak!
*
Pagi ini aku melompat secara diam-diam lewat jendela kamarku. Sebuah pot bunga berukuran sedang pecah tersenggol olehku. Tapi aman. Tak seorangpun yang menyadari.
Debu kota sepagi ini menghantarkanku menuju sebuah tempat yang hampir tiap hari kusambangi hingga malam. Rasanya tak ingin berpisah. Delapan belas tangkai mawar merah yang masih segar sengaja kubeli untuk kuberikan pada Ayah. Aku membeli mawar sebanyak itu karena Ayah menyukai angka delapan belas. Tanggal pernikahan Ayah dan Bunda sekaligus tanggal perpisahan mereka. Delapan belas mei mereka menikah dan setahun lebih satu bulan aku pun lahir. Tepatnya delapan belas juni. Beberapa menit setelah itu bunda menghembuskan nafas terakhirnya. Sebenarnya aku kembar dan saudara kembarku pun ikut Bunda. Itu sebabnya mengapa aku menjadi anak emas Ayah dan alhasil aku pun sangat dekat dan manja pada Ayah meski sebentar lagi aku akan menikah.
Wangi-wangi bunga kenanga semerbak menyambutku sejak langkah pertama tiba di tempat itu. Suasana masih sama. Hening. Hanya cicit burung yang mencari makan sesekali mengiringi langkahku.
Aku tiba di depannya. Gundukan tanah yang ditumbuhi rumput-rumput hijau serta nisan kayu yang mulai berlumut karena dua hari belakangan tak kubersihkan.
“Ayah, maaf aku baru menjenguk Ayah. Kemarin aku sakit dan Makmuk juga Sam tak mengizinkanku untuk menjengukmu.” Aku menancapkan bunga-bunga yang kubawa tadi. Ayah pasti senang. Batinku.
Aku mengelus-elus nisan Ayahku dan sesekali menyentuh tanah.
“Aku mencintaimu. Aku mencintaimu Ayah!” Kupeluk erat nisan Ayahku.
Di rumah Makmuk dan Sam heboh kehilanganku. Mereka mencari ke seluruh sudut rumah dan halaman. Berharap baramgkali aku masih berada di sekitar itu. Tapi Sam tahu bahwa aku pasti lari ke makam Ayah. Dan kali ini pun aku siap dengan segala resiko yang akan aku hadapi.
Secepat kilat Sam menghampiriku. Dia menemukanku pada posisi yang sama seperti hari-hari sebelumnya. Aku tengah berdansa sambil berkata : “Aku mencintaimu Ayah!”
Tepak….
Sebuah tamparan di pipi kananku.
Tepak….
Juga menyusul di pipi kiriku. Tapi aku berusaha menahan rasa sakit di tubuhku. Aku masih sabar dengan sikap kasarnya.
Sam makin agresif. Sebuah tali tambang coba ia ikatkan di tanganku. Kali ini aku tidak terima dia memperlakukanku seperti binatang. Aku mengamuk. Aku berontak dan kucabut nisan Ayah. Kupukulkan ke tubuhnya, ke kepalanya. Dia masih berdiri.
“Jangan bertindak bodoh, Ai! Aku ini tunanganmu, calon suamimu. Ayahmu sudah meninggal. Lupakan saja dia.” Teriak Sam sesuka hatinya.
Aku terus memukulnya tapi ia kebal.
“Kamu gila Ai!”
Aku berlari menjauh. Sam terus mengejarku.
“Hentikan kegilaanmu, Ai. Tak ada gunanya mengingat Ayahmu lagi. Hari pernikahan kita semakin dekat.” Tambah Sam.
Kata-katanya semakin membuatku geram. Kupecahkan botol air di makam Ayah dan kutancapkan ke perutnya saat Sam menangkap kembali tubuhku.
“Maaf Sam. Tidak terpikir olehku akan pernikahan kita melihat keegoisanmu.”
Darah segar mengalir dari perut Sam. Tak sedikitpun aku merasa kasihan padanya.
“Aku mencintaimu, Ai!” Kalimat terakhir yang Sam ucapkan. Dan aku tersadar atas apa yang telah aku lakukan.
Aku rebah di hadapan jasad Sam yang membiru.
Bukanlah cinta ketika orang yang dicintai tersakiti. Dan bukanlah cinta jika terlalu mencintai tanpa kesadaran diri.

BUKANLAH CINTA

by on Oktober 15, 2012
Aku masih berdiri di bawah derasnya hujan. Tanganku tak bersedia melepas pelukannya yang masih hangat kurasakan. Tak peduli lalu lalang...