Tampilkan postingan dengan label True Story. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label True Story. Tampilkan semua postingan
Sampai pada detik ini, aku baru...eh, bukan baru. Tapi...aku sendiri bingung menuliskan kalimat apa yang tepat. Intinya, kesatuan dari semua kesatuan yang ada di dalam jiwa ragaku baru berkesempatan bertemu dengan laman ini pada malam ini dan detik ini.

Sebuah kesyukuran ketika ada kesempatan ini. Banyak momen yang telah kulewati tanpa sedikitpun menorehkannya di sini. Sungguh sedih sebenarnya. Namun, percayalah. Bukan karena aku tak menulis. Tapi apa-apa yang kutulis itu bukan untuk kupublikasikan di sini. Heheh.

Awal Mei, kubuka dengan sebuah kegembiraan dan kebahagiaan karena telah dapat memenuhi janjiku untuk mengabadikan sebagian dari kehidupanku dalam sebuah buku. Yah, alhamdulillah banget. 

Judul bukunya, "17 Bintang di Lanny Jaya"

Kali ini resmi kutulis sendiri. Editting sendiri sampai-sampai menerbitkannya sendiri. Bukan aku tak memberikan ruang pada yang lain untuk menanamkan kebaikan dalam proses penerbitan bukuku ini. Tapi memang belum ada yang bisa membantu, terutama dana untuk penerbitannya. Heheh.

Tak mengapa, allah masih ngasih rezeki sama aku buat nerbitkan indie. Mudah-mudahan kedepannya aku bisa bikin buku yang lebih baik dan baik lagi dan bisa diterbitkan di penerbit mayor. Sehingga, teman-teman yang jauh di mana pun berada bisa memiliki buku karanganku. Aamiiin. Ngayal duu gapapa deh, bagian dari doa. Insyaallah ada masa nya allah akan ijabahkan sesuai dengan proses ikhtiar dan niat kita.

Ini nih, buku karyaku. Isinya adalah pengalaman mengajarku selama berada di salah satu pelosok Papua. Pegunungan tengah yang indah.

Buku ini meski belum berusia satu bulan, sudah mendarat di beberapa tempat di Indonesia lho. Mulai dari Medan, Batam, Bandung, Kepulauan Sitaro dan Papua. Tentunya Pekanbaru, Air Molek dan Riau sekitarnya deh. Buku ini gak dijual di toko buku manapun. Bagi kalian yang berminat memilikinya masih ada stoknya beberapa sama aku. Bisa kirim inbox ke facebook : kavita siregar.

Buat siapapun kalian yang sudah membaca buku ini, semoga buku ini bermanfaat yaaaa!!!

Aku dulu tidak begitu mengenal siapa itu yang layak dikenal sebagai PENULIS. Sebagaimana hari ini aku akhirnya mengerti tentangnya. Bahkan sangat memimpikan bisa menjadi penulis terkenal seperti Buya Hamka yang karyanya hingga kini abadi. Atau seperti Habiburrahman, yang terkenal dengan novel-novel islami. Yah, karena dulu bagiku waktu adalah membaca, membaca dan membaca. Kalau pun ada kegiatan ilmiah lain di luar membaca, ialah lomba. Lomba yang berhadiah benda-benda lucu yang sangat ku inginkan untuk melengkapi koleksi-koleksi barangku.

Kenalnya aku dengan PENULIS dan dunia kepenulisan ternyata adalah sejak SMP. Aku baru sadar ternyata apa yang aku lakukan selama ini adalah bagian dari menulis, terutama menulis buku harian pribadi dan buku harian genk-ku. Yah, isinya berupa kata-kata puitis yang bertabur dengan majas dan kini ku ketahui bahwa itu bisa dikatakan puisi.
Aku memang suka menulis sejak kecil. Menulis apa saja yang ku senangi. Menulis bebas tanpa peduli aturan penulisan yang ternyata harus menjadi perhatian penting bagi seorang penulis. Itu sih masalah teknis penulisan lanjut. Bagi pemula, ku sarankan kalian tetap eksis menulis apapun yang kalian senangi dan tentunya tulisan kalian itu berguna bagi siapa saja yang nantinya akan membaca. Yang jelas, aku senantiasa meraih nilai tertinggi dalam hal menuliskan cerita karena aku hobi sekali menulis catatan harian.

Sekarang aku akan bercerita tentang proses menulisku kepada kalian. Semoga dengan tulisan ini dapat kembali memotivasi diriku pribadi untuk semangat menulis dan juga kalian.
Kalian kenal Chairil Anwar? Kahlil Gibran?
Mereka ada penulis-penulis yang aku kagumi. Aku terpesona dengan puisi-puisinya Chairil Anwar dan juga kisah-kisah roman lagi puitisnya Kahlil Gibran. Aku rela-rela menyisihkan uang jajan untuk bisa membeli buku kumpulan puisi Aku ini binatang jalangnya Chairil Anwar dan buku-buku Kahlil Gibran yang tak boleh ku tinggalkan. Berasa makan permen. Manis dan membahagiakan.

Ada juga penulis puisi yang aku miliki bukunya ketika masih SMP yaitu Amir Pane. Sampai sekarang pun aku masih belum mengerti apa isi puisinya itu. Mungkin karena ilmuku masih sedikit kali yah. Tapi buku yang ini ku biarkan saja.
Ketika aku duduk di kelas 3 SMP aku mendapatkan hadiah novel berjudul Eiffel I’m in love. Novel itu ku baca dari jam 5 sore hingga jam 12 malam. Sengaja lembur. Luar bisaa ketertarikanku pada novel. Eh, kemudian itu novel di filmkan. Betapa senangnya diriku. Di televisi juga banyak berita muncul tentang bagaimana boomingnya novel itu dan kisah  penulisnya. Jadilah aku membayangkan suatu hari nanti aku bakal bisa menggantikan posisinya. Setelah novel itu, hampir tiap bulan aku dikirimi novel-novel remaja islami karya Irfan hidayatullah yang saat itu masih menjabat sebagai ketua Flp pusat, Pipit senja dan anak-anaknya yaitu Adzimattinur dan Haekal Siregar. Wah, satu marga nih! Pikirku.

Karena sering membaca novel-novel dan cerpen-cerpen di majalah langganan, aku jadi tertarik menulis cerpen dan novel. Aku coba-coba saja menulis namun hanya untuk diri pribadi. Aku sengaja menulis dalam sebuah buku dan kemudian ku persilahkan teman-teman sekelas untuk membaca tulisan-tulisanku. Akhirnya mereka pun pada ngikutan membeli buku tulis kosong dan berlomba-lomba denganku untuk menulis. Ceritanya saat itu berlomba-lomba siapa yang paling banyak menghasilkan tulisan baik puisi ataupun cerpen. Alhamdulillah, aku masih bertahan di posisi teratas.

Ketika SMA, guru les bahasa inggrisku yang juga guru agama saat di SMP ternyata adalah orang yang sangat gemar membaca. Itu ditularkannya kepada kami muridnya. Aku pun dipinjami novel pudarnya pesona Cleopatra, ayat-ayat cinta dan hapalan shalat Delisa yang ternyata semuanya itu baru dibaca oleh teman-temanku ketika di perguruan tinggi. Itu pun karena booming filmnya.
Kalian bisa lihat proses menulisku yang hanya karena membaca. Kalian juga bisa melihat bacaanku sejak kecil yang kemudian berubah hingga aku seperti sekarang. Ku pikir ini adalah suatu pola penggiringan dalam proses menulis. Ketika habis membaca buku aku kemudian menulis dan tulisan yang aku hasilkan tidak jauh beda dengan tulisan yang aku baca sebelumnya. Mungkin ini yang dibilang orang bahwa kalau kita cendrung menyukai karya seseorang, besar kemungkinan kita akan mengikuti gayanya berkarya sambil berjalan mencari identitas diri sendiri. Itu adalah jalan yang bagus. Dan masih ku ingat kata seorang profesorku bahwa “penulis yang baik adalah pembaca yang baik.” Sejak saat itu aku terus memaksa diriku untuk rajin membaca agar kualitas tulsianku makin baik karena aku sangat ingin menjadi seorang penulis islami terkenal seperti yang kalian ketahui.

Alhamdulillah, meski aku belum memiliki karya pribadi seperti teman-temanku yang lain, aku sudah bisa punya antologi sekitar 3 buah dan itu cukup menggembirakan. Setidaknya membalas jasa menulisku ke beberapa media yang tak kunjung dimuat. Ke depan, aku berharap bisa lebih baik lagi dan menghasilkan karya pribadi. Sekarang kerjaku hanya nongkrongin laptop dan berusaha menulis dan aku hanya publish tulisanku di blog. Mana tau nasibku seperti Raditya Dika. Karena isi blognya itu, dan ada yang tertarik untuk membukukannya. Aku percaya, takdir aku dan kita sudah ada jalannya masing-masing. Insyaallah sekarang aku tidak begitu bersedih lagi ketika tulisanku tidak dimuat di Koran atau media lain yang ku kirimi. Sekalipun aku telah belajar cukup banyak tentang kepenulisan dan hasilnya belum seperti apa yang aku harapkan, toh aku dulu hanya mengenal buku harian saja. Dan sekarang semangatku harus terus aku bangkitkan sebagaimana aku mewajibkan atas diriku sendiri untuk terus menulis harian setiap harinya seperti yang ku lakukan sejak dulu.

Bedanya, jika dulu aku menulis di banyak buku dengan gambar-gambar lucu lagi berkunci, kini aku cukup membuka laptop dan kemudian mengetik apapun yang aku pikirkan setiap harinya. Dari pada curhat di media sosial dan diketahui banyak orang, mending aku curhat sama benda ini. Tak mengapalah meski kini ide-ide yang ku tuliskan tiap hari tak kunjung menjadi sesuatu yang ada akhirnya. Aku yakin nanti ada masanya semua ide-ide itu bersatu padu dan akhirnya menjadi sebuah karya fenomenal. Amiiin.
Kalau kalian mau mengintip catatan-catatan harianku bisa mampir ke www.cobacobamenulis.blogspot.com. Sekiranya kalian berbaik hati membacanya dan kemudian memberikan komenta di bawahnya, aku semakin merasa bahagia dan mengucapkan terimakasih yang tak terhingga. So, ku rasa ini dulu deh ceritaku kali ini.


MIMPI MENJADI PENULIS

by on Februari 20, 2013
Aku dulu tidak begitu mengenal siapa itu yang layak dikenal sebagai PENULIS. Sebagaimana hari ini aku akhirnya mengerti tentangnya. Bah...


Aku tertarik sekali ketika ada info lomba tentang hijab ini. Kalau aku sih baru-baru ini saja familiar dengan kata-kata hijab. Aku tahunya jilbab atau kerudung. Jika aku ceritakan kisahku, kadang aku senyum-senyum sendiri. Mungkin sebagian orang akan mengatakan bahwa aku ini orang yang tidak konsisten atau bisa jadi orang akan mengatakan bahwa aku ini hanya ikut-ikutan saja. Tapi semoga dengan ceritaku ini kalian akan mendapatkan banyak hikmah dan pelajaran tentang jilbab. Kalian bisa memandang dari sudut pandang yang positif. Karena sesungguhnya apa yang aku alami ini adalah hal nyata yang memang terjadi pada waktu nyata di dunia ini.
Sejak TK aku sudah mengenal dan menggunakan jilbab karena aku sekolah di TK Islam. Kalau sehari-hari aku seperti anak-anak lainnya tidak menggunakan jilbab. Tapi aku bangga menggunakannya terutama jika sudah masuk pelajaran haji dan menggunakan baju ihram. Rasanya indah dan rapi. Masih sebatas itu saja perasaanku terhadap jilbab.
Lepas TK aku ingin menggunakan jilbab. Efek dari penanaman nilai-nilai keislaman selama di TK yang mungkin mempengaruhiku. Tapi tidak diizinkan oleh orang tuaku. Alasannya sederhana saja, jika sudah berjilbab, jilbab itu tidak boleh seperti mainan bongkar pasang. Bentar dipasang bentar dibuka.
Kata mama, jika sudah punya keinginan untuk berjilbab, aku harus benar-benar meyakinkan diriku sendiri tentang kenapa aku harus berjilbab dan aku harus benar-benar paham apa konsekuensi terhadap keputusan yang aku pilih. Masih sekecil ini saja mama sudah mengajarkanku alasan dan sebab musabab muslimah harus menggunakan jilbab. Jika aku menggunakan jilbab, mama mewanti-wantiku dengan mengingatkan bahwa kemudian aku harus meninggalkan aktivitasku yang banyak seperti menari, senam dan lain-lain. Kalau urusan meloncat-loncat dan melasak, muslimah menggunakan jilbab tidak boleh ikut. Itu pesan mama sejak aku kecil. Yah, namanya juga anak kecil, entah berapa persen yang aku amalkan.
Jujur aku menolak anjuran mama untukku meninggalkan semua aktivitasku itu karena waktu itu aku tengah berada di puncaknya. Anak kecil yang aktif dan ingin menjadi selalu terdepan dalam segala hal. Otomatis aku harus melakukan semuanya yang sekiranya memiliki peluang untuk membesarkan namaku melalui prestasi. Baik prestasi akademik amupun non akademik. Yah, akhirnya aku tidak jadi memakai jilbab.
Ketika hendak masuk SMP begitu juga. Alasan mama masih sama apalagi waktu itu aku getol-getolnya belajar musik, belajar main band dan belajar basket. Lagi-lagi aku tidak jadi memakai jilbab. Tak bisa ku bantah alasan mama yang sebenarnya masuk akan dan ada landasannya ketika aku sudah dewasa seperti ini dan mengerti lebih jauh tentang arti sebuah jilbab bagi seorang muslimah. Tapi kalau peringatan hari besar islam (PHBI), aku dengan semangat tampil menggunakan jilbabku yang aku kreasikan berkat belajar dari sebuah majalah remaja islam. Pemahamanku saat itu masih sebatas menggunakan jilbab dan tetap gaya dengan jilbab. Dalam hatiku, tak mengapalah untuk saat ini belum menggunakan jilbab tetap, hanya untuk momen-momen tertentu. Yang penting keinginanku untuk menggunakan jilbab sepanjang waktu itu suatu hari nanti akan kesampaian. Sekarang dimulai perlahan-lahan dulu.
Di akhir kelas 3 SMP, aku kembali ingin memakai jilbab. Mungkin karena aku juga mau masuk SMA yang membuat mama mengizinkanku memakai jilbab selesai ujian nasional. Usia SMA adalah usia-usia menuju dewasa awal yang terkadang banyak godaannya jika tidak dibarengi dengan agama. Jilbab merupakan salah satu benteng agama yang setidaknya menjadi pengingat dalam bertindak. Muslimah yang sudah menggunakan jilbab, harus lebih percaya diri terhadap keislamannya. Itu yang ku pikir ketika SMA.
Eh, pas giliran perpisahan SMP kan anak-anak yang mau tamat tampil dengan berbagai tampilan. Ada banyak kreasi. Nah, aku and the genk  tampil nge-dance. Aku masih ingat, kami membawakan lagu TATU. Sewaktu latihan ,aku tetap menggunakan jilbab. Giliran hari perpisahan, aku buka jilbab lagi deh karena teman se-genkku yang merupakan penanggung jawab untuk masalah kostum dan penampilan telah membelikan kami baju kaos lengan pendek dari Jakarta. Cantik lagi. Ditambah topi dan jaring-jaring tangan. Serba hitam. Eksklusif gimana gitu ditambah kosmetik yang kami gunakan.
Udah deh, beberapa teman heran. Perasaan baru beberapa hari menggunakan jilbab, sekarang sudah buka lagi. Itu pula yang menjadi alasan aku dan mamaku yang kemudian jadi ragu untuk menggunakan jilbab lagi. Pas mengukur baju seragam SMA, aku bingung minta ampun. Tiap hari menjelang pengukuran baju bahkan sampai di hadapan tukang jahitnya sendiri yang hendak mengukur tubuhku, aku masih saja bingung. Sebentar aku keluar kelas untuk berpikir. Sebentar aku balik lagi ke ruang kelas mengambil antrian untuk mengukur. Sampai-sampai tukang jahitpun bingung melihatku. Aku khawatir akan melakukan kesalahan yang sama lagi.
Akhirnya aku memutuskan dan membiarkan penjahit mengukur tubuhku untuk baju dan rok pendek. Baru satu bulan aku memakai seragam baru, aku kembali bingung lagi. Perasaan yang terus mendorongku dan merayuku untuk menggunakan jilbab kembali lagi. Seiring dengan datangnya bulan ramadhan. Aktivitas di sekolah pun di bulan ramadhan diawali dengan pesantren kilat selama beberapa hari. Berkumpul bersama-sama dengan para muslimah yang dengan anggun menggunakan jilbab. Sepanjang hari di sekolah membicarakan tentang agama, akhlak dan ibadah. Sebentar-sebentar membaca al-qur’an dan saling mengingatkan lagi. Membuat aku nyaman dengan kondisi itu dan tak ingin kehilangan momen itu meski nanti pesantren kilat telah berakhir.
Selesainya pesantern kilat, aku pulang ke rumah dan minta mama membuatkanku seragam lengan panjang. Mama terkejut sambil mengomel-ngomel. Secara baju seragamku masih baru. Jika tak terpakai jelaslah uang terbuang dan sekarang harus membuat baju baru lagi.
“Aku serius nih, Ma! Sekarang bulan Ramadhan. Bismillah.” Kataku mantap.
Meskipun masih tetap mengomel, mama tetap saja menjahitkan seragam baru untukku. Sejak Ramadhan itu hingga kini, Alhamdulillah aku telah berjanji pada diriku sendiri akan istiqomah dengan jilbabku ini. Aku ingin surga Allah. Aku ingin lelaki baik. Maka aku harus menjadi pribadi yang baik di semua sisi kehidupan dan menjadi muslimah yang pandai menjaga auratnya.
Bahagianya tidak hanya aku yang kemudian memutuskan untuk berjilbab. Ketiga sahabatku juga turut menggunakan jilbab. Sepertinya hidayah turun kepada kami pada bulan ramadhan ini. Meski keempat sahabatku yang lain belum mendapat hidayah untuk menggunakan jilbab, hubungan persahabatan kami masih tetap sama seperti biasanya. Dengan menggunakan jilbab, ku rasa aku semakin menjadi percaya diri dalam segala hal. Aku yakin dengan berjilbab tidak akan menghambatku untuk berprestasi.
Kemajuanku tentang jilbab adalah aku tetap memegang teguh pendirianku untuk menggunakan jilbab kemanapun dan sekalipun ada hal yang menggodaku. Namu, aku masih saja merasa belum sempurna. Aku terus dan terus mencari tentang jilbab yang seharusnya. Jilbab yang sesuai dengan syariat. Itu pun tidak langsung terealisasi karena butuh proses untuk penerimaan terhadap diri sendiri seutuhnya dan juga keluarga serta lingkungan.
Aku belajar banyak tentang aurat. Aku mencari sendiri dan memutuskan sendiri. Sekalipun pernah waktu itu kesannya teman kuliahku sedikit memaksa dengan cara tidak langsung. Aku tetap saja pada pencarianku dan pada akhirnya kini aku sudah yakin dengan keputusanku. Menggunakan jilbab yang sesuai dengan syariat islam yang telah allah sampaikan berabad-abad lalu di dalam al-qur’an.
Ternyata kadang kita harus memaksakan diri kita untuk melakukan sesuatu hal yang kita tahu kebenarannya namun sulit direalisasikan karena lingkungan yang tidak mendukung. Namun percayalah, selama niat di hati masih ada, dan tetap lurus karena menginginkan kebaikan, percayalah allah akan senantiasa menjaganya hingga nanti kita mencapai apa yang kita ikhtiarkan. Jangan lupa berdoa! Aku pun memintanya dengan berdoa. Mengemis-ngemis pada allah agar aku diberikan keberanian untuk dapat istiqomah menjalankan perintahnya.
Begitulah ceritaku tentang jilbab. Bisa ku katakan sekarang bahwa jilbab itu benda sakti yang melindungi dan menunjukkanku ke sejuta prestasi yang tak pernah terfikirkan bahkan aku ingini. Semakin hari, aku semakin berani. Aku juga semakin optimis kejayaan islam akan segera datang dengan banyaknya muslimah yang kini menggunakan jilbab. Paling tidak ada niat di hati untuk tidak sekedar menggunakan jilbab karena ikut-ikutan atau trend semata. Tapi menggunakan jilbab karena kepahaman dan dari hati. Just cause allah, insyaallah.
I love my jilbab. I love islam. Tampil sesuai syariat lagi modis dengan jilbab. Seperti Mbak Oki Setiana Dewi yang telah menginspirasi banyak muslimah untuk menyegerakan niatnya menggunakan jilbab.
(Ini tulisan yang pernah ku kirimkan dalam lomba menulis tentang hijab yang diselenggarakan oleh OSD. Namun, belum rezki untuk menang. Semoga bisa menginspirasi)

Aku tadi sengaja shalat ashar di mushollah rektorat unri. Rencananya habis ashar sekitar jam 4 akan ada kajian bersama formasi inhu. Cukup lama aku menunggu akhirnya sekitar setengah 5 sore itu ada beberapa pengurus formasi inhu yang datang. Diikuti kemudian oleh beberapa orang anak inhu lainnya yang baru saja memulai lembaran kuliahnya. Tapi bukan itu yang ingin ku ceritakan disini.

Ketika shalat ashar tadi, ada dua orang perempuan dewasa yang juga shalat dan ku perkirakan usianya paling jauh bertaut 5 tahun di atasku. Cantik. Mereka berdua cantik dan putih. Jadi ngiri lihatnya (perempuan mana sih yang gak kepengen tampil secantik mungkin, seindah mata memandang secara fisik).  Mereka memakai pakaian serba hitam dengan rambut hitam yang diikat di belakang. Bulu mata palsunya yang terkena basahan air menambah hidup dan indah memandang wajah mereka.

Selesai shalat, aku berdzikir sesaat. Sebelum melanjutkan berdoa, aku memandang ke arah mereka. Terlihat mereka berdua tengah khusyuk memanjatkan doa. Aku tak tahu apa isi doa mereka, namun ku lihat dari cara mereka berdoa, aku merasa mereka tengah meminta sesuatu pada Sang Maha Pemberi.

Aku kemudian membiarkan mereka larut dalam doanya karena aku juga hendak berdoa. Selesainya aku berdoa, mereka masih khusyuk berdoa. Jamaah lain telah berangsur berkurnag. Ku lihat seorang dari mereka akhirnya mengakhiri ritual suci ini. Tapi yang satunya lagi masih khusyuk hingga beberapa menit kemudian barulah ia benar-benar mengangkat kepalanya dan menyudahi doanya sore ini. Temannya yang satu telah menunggu di pinggiran musholla dan kemudian mereka berdua berlalu dari hadapanku yang masih duduk di musholla.

Aku tidak mengenal mereka dan bahkan tidak sempat berkenalan karena mereka terlihat terburu selesai shalat ini. Tapi ketika aku melihat mereka tengah khusyuk berdoa, aku ikut mengaminkan doa mereka. Aku tak tahu apa yang mereka pinta tapi aku yakin mereka tengah merayu allah untuk memberikan sesuatu yang terbaik untuk hidup mereka dan aku pun mengaminkan lagi.

Aku cuman bisa mengambil kesimpulan bahwa, mungkin ada banyak wanita lainnya yang tampil mungkin tidak sebagai diri mereka yang aslinya suci dan ingin senantiasa menjadi orang yang suci. Namun karena mereka hidup di dunia yang ‘serba ramai’, mau gak mau mereka ikutan menjadi ‘ramai’. Alhamdulillahnya, mereka tetap ingat untuk bersyukur kepada Sang Penciptanya. (10 des 2012)

Seorang hamba berdoa

by on Desember 11, 2012
Aku tadi sengaja shalat ashar di mushollah rektorat unri. Rencananya habis ashar sekitar jam 4 akan ada kajian bersama formasi inhu....

Aku pernah membaca sebuah buku yang berjudul ‘membaca ombak’ karya Pak Chaidir. Di salah satu tulisannya bercerita tentang suatu daerah kaya yang kini miskin yaitu Dabo Singkep. Aku ingin bercerita sedikit tentang Singkep sebelum akhirnya aku mengalihkan ceritaku.
Singkep dulunya masih bergabung dengan Riau. Namun karena pemekaran daerah dan akhirnya terpisah, kepulauan Riau yang termasuk didalamnya Dabo Singkep, adalah sebuah daerah yang kaya akan penambangan timahnya. Mamaku sering bercerita tentang tanah kelahirannya itu, bagaimana kehidupan disana waktu dulu. Kakek yang seorang tentara, memensiunkan dirinya waktu muda dan kemudian bekerja di perusahaan timah. Hasil yang didapat sebagai karyawan tetap di perusahaan tersebut bisa dibilang sangat memuaskan. Kehidupan yang berlimpah pun dirasakan mama. Kemudian kakek membuka banyak kebun yang akhirnya menambah penghasilan.
Kini daerah itu sepi, kawan! Tidak hanya dari cerita Pak Chaidir dan juga mama, tapi aku menyaksikannya sendiri. Sejak kecil hingga kini aku masih sering ‘pulang kampung’ ke Singkep. Pertama tiba di pelabuhan, kami hendak mencari kendaraan yang akan mengangkut kami menuju Paya Luas. Susah sekali menunggu angkutan umum. Disamping itu, rumah-rumah penduduk di pinggir jalan banyak yang sepi karena ditinggal pemiliknya setelah perusahaan timah tidak berfungsi. Coba kalian lihat jika nanti kalian berkunjung kesana, bangunan-bangunan yang ada hanya bangunan-bangunan tua dan bisa dibilang tidak ada pembangunan seperti kota-kota lainnya di Riau. Tentunya ini merupakan efek dari masa lalu dimana pemerintah yang kurang memperhatikan daerahnya.
Singkep ‘Gratisan’ saja. Seperti itulah ibaratnya. Ketika jayanya, tambang timah melimpah, kehidupan serba glamor dan masing-masing sibuk dengan kekayaannya. Untuk bisa tiba di Singkep sangat mudah, Jakarta-Singkep bisa terjangkau dalam waktu dekat. Tapi itu dulu, kini justru kebalikannya. Orang-orang yang dulu betah tinggal disana, kini semuanya pergi tanpa meninggalkan kemajuan sedikitpun di Singkep. Seenaknya mengambil hasil tambang disana tanpa ada imbalan untuk daerah.
Aku ingin menyinggung pemerintah di Riau. Aku tidak ingin Riau ini mengalami hal yang sama seperti yang dialami oleh Singkep. Alasan mengapa aku katakan demikian? Kita lihat saja di Riau banyak perusahaan-perusahaan yang mengelola hasil bumi Riau. Label luar mengatakan milik Riau, tapi coba telusuri! Banyak dari perusahaan-perusahaan itu yang kepemilikannya diambil alih oleh pihak asing. Khawatirnya ketika hasil bumi Riau sudah tidak ada lagi, Riau ini ditinggal begitu saja tanpa ada hasil nyata yang menyentuh seluruh aspek masyarakat.  
Kalian tentunya tahu bahwa Riau kaya akan minyaknya. Tidak asing lagi kalimat ‘di atas minyak dan di bawah minyak’. Yah, memang begitulah nyatanya. Daerah penghasil minyak terbesar di Riau sebut saja Duri, Minas dan Siak. Meski banyaknya penghasil minyak, tetap saja masyarakat Riau sendiri kesusahan untuk mendapatkan minyak. Antrian panjang di SPBU menjadi pemandangan yang tidak asing. Harga yang tinggi juga membuat masyarakat bingung sementara pendapatan masyarakat masih banyak yang rendah. Untuk membeli minyak tanah juga lumayan susah, harganya juga mahal. Padahal, Duri menghasilkan minyak 600.000 barrel per hari. Bila saja pembagiannya sesuai dengan yang telah ditetapkan sejak otonomi daerah, Riau memperoleh 15% bagi hasil, maka tidak terlalu senjang mengingat Riau penghasil minyak terbesar.
Minyak juga merupakan sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui sama halnya dengan timah. Jika habis pada waktunya dan tidak ada upaya penyelamatan yang dilakukan oleh masyarakat dan pemerintah, maka dapat dipastikan nasib Duri, Minas dan Siak tidak jauh beda dengan Singkep. Apakah kita tega meninggalkan daerah kita dalam keadaan seperti ini? Bagaimana nasib anak cucu yang tidak tahu menahu tentang hal ini?
Ketika berbicara tentang Riau, sebenanrnya banyak hal yang ingin diceritakan. Riau Ibukotanya Pekanbaru, kota bertuah. Bukan hanya mengkritisi yang akibatnya menjatuhkan daerah sendiri tapi adalah bagaimana kemudian semua orang sadar bahwa hidup hari ini bukanlah hanya untuk kehidupan hari ini. Masih ada esok, esok dan esoknya lagi yang mungkin memang kita tidak ada lagi. Yang terpenting dari hidup hari ini adalah menjadi gambaran kehidupan hari esok. Mengkritik adalah bagian dari kehidupan hari ini dalam rangka memperbaiki langkah selanjutnya yang masih kurang benar untuk hari esok yang lebih baik.
Saat ini, di kepala saya yang ada hanyalah kritikan terhadap daerah sendiri  melihat kondisi nyata yang terjadi. Dan dari keseluruhan permasalahan yang terjadi di Riau, sebenarnya hampir terjadi di daerah-daerah lainnya hanya saja persentasenya yang mungkin berbeda. Sepeti cerita saya tentang timah dan minyak tadi. Ini cerita lain tentang Riau.
Saya bahagia dilahirkan dan tinggal di Riau. Jika pun saya disuruh memilih untuk tinggal dimana, saya akan memilih untuk tinggal di Riau. Riau punya banyak kenangan dalam kehidupan saya dan juga memiliki begitu banyak keragaman yang mewarnai hari demi hari. Indahnya bila bersama.
Riau punya banyak hutan sehingga daerahnya pun cukup hijau. Nyaman berada di daerah yang hijau. Banyaknya hutan tentunya berguna sebagaimana kita sering dengar hutan paru-parunya dunia. Banyaknya hutan di Riau berarti Riau menjadi paru-paru dunia dalam menyuplai oksigen. Sebaliknya, jika hutan sudah tidak ada, tentu berkurangnya penyuplai oksigen. Kita semua sadar akan hal itu terutama bagi mereka yang berpendidikan jauh lebih mengerti secara ilmiahnya.
Tapi kemudian saya sedih ketika melihat sebuah video yang ditayangkan oleh sebuah organisasi yang bergerak di bidang lingkungan, ternyata hutan di Riau kini tidak banyak  lagi. Isu-isu tentang kepemilikan hutan dan kerusakannya tidak jelas kini ujungnya. Dilihat dari awalnya secara dekat, yah kita akan terpana melihat hijaunya hutan Riau. Tapi semakin jauh, semakin tinggi, video itu menggambarkan betapa tandusnya Riau kini. Banyaknya pembakaran dan pembukaan lahan yang tidak resmi semakin memperburuk keadaan. Pihak-pihak tertentu sibuk meraup keuntungan sendiri tanpa bisa membedakan mana yang boleh dibuka untuk lahan baru mana yang tidak boleh. Anehnya lagi, banyak pejabat negeri ini yang ternyata terlibat di dalamnya. Makin aneh lagi, sudah ketahuan tapi masih bisa berkilah dan dilindungi. Puncak anehnya, mereka yang jelas-jelas sudah terlibat, tidak diproses, kini justru kembali muncul dengan percaya diri mencalonkan dirinya sebagai kepala daerah. Ternyata cukup ada pula yang memilihnya. Apa maksud semua ini? Yang salah lagi punya duit itu yang dibela.
Belum lagi efek dari pembakaran dan pembukaan hutan tersebut. Asap dimana-mana. Jarak pandang semakin berkurang. Tidak dipungkiri salah satu penyebab kecelakaan adalah karena berkurangnya jarak pandang. Mau  mengurangi angka kecelakaan dengan cara tidak bepergian dari rumah? Bagaimana hendak mencari makan? Efek kepada kesehatan juga, semakin banyak asap yang terhirup semakin merusak paru-paru. Ujung-ujungnya banyak merugikan orang disekitar. Toh, lagi yang untung tidak membantu apa-apa jika terjadi kerugian seperti itu.
Hutan hilang, raga kesakitan, kota tak bertuan. Apakah itu juga akan terjadi? Kalaulah sudah gersang, masih ada yang bertahan? Khawatirnya akan sama kejadian dengan Singkep atau daerah ini jika sudah kehabisan minyak tadi. Maju dan baiknya suatu daerah tergantung pada siapa masyarakatnya. Masyarakat dalam hal ini termasuklah di dalamnya pengambil keputusan.
Riau itu negeri yang religi, Kawan! Adat bersandi syara. Syara bersandi agama, agama bersandi kitabullah. Itu semboyan kita, Kawan! Artinya, segala sesuatu yang kita lakukan kembali kepada kitabullah. Mana ada di dalam kitabullah diajarkan untuk berbohong, mendzalimi saudara, atau mengambil yang bukan haknya. Itulah anehnya, entah kenapa semakin berpendidikan semakin saja pintar untuk berbuat curang.
Seperti belajar kimia, semakin mengetahui manfaat dan bahaya bahan-bahan kimia, harusnya kita semakin bisa berinovasi bagaimana menciptakan bahan-bahan herbal yang tidak kalah saing dengan bahan kimia dan bukanlah untuk menciptakan bom yang kemudian membuat rusuh dunia. Semakin berpendidikan, hendaknya semakin cerdas, apalagi tugas seorang pemimpin atau pengambil kebijakan yang sangat berat. Sudah berat di dunia. Berat pula di akhirat.
Ups, malah ngelantur ke pelajaran ya? Tapi tak apalah, karena ini juga merupakan pelajaran buat kita bersama sebagai masyarakat Riau. Yang katanya itu tadi, semboyan Riau yang sudah sangat bagus.
Menyinggung sedikit tentang kalimat tadi lagi. Dalam keseharian sering terlupakan tentang adat. Tapi coba lihat ketika ada perayaan hari  besar atau apalah namanya, pasti menggunakan adat. Yah, Riau tentunya sebagaimana adat melayu. Mulai dari yang kecil sampai yang besar, mulai dari penyambutan hingga perayaan. Ngakunya saja orang Riau. Tidak terbukti dalam keseharian yang mencerminkan orang Riau yang sopan dan bersandikan kitabullah. Harusnya konsisten sebagai orang Riau.
Wajar saja jika masyarakat kini sibuk melakukan demonstrasi menuntut pejabat kota dan provinsi untuk turun. Nyatanya kebijakan yang diambil banyak yang tidak menyentuh kehidupan masyarakat. Kalau sudah begini, tidak hanya Hutan tapi menjadi Harta hilang, raga kesakitan, kota tak bertuan. (Termasuk salah satu tulisan yang diikutsertakan dalam antologi bersama Pipiet Senja)