Tampilkan postingan dengan label cerpen. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label cerpen. Tampilkan semua postingan



Ada mata yang tak berhenti menatap. dari balik jendela kamar di sebuah rumah mewah tingkat tiga. Dengan segala kelebihan yang ada, menatap ke arah luar jendela adalah hal yang lebih menarik dari semuanya. Biasanya, burung-burung walet dari gedung peternakan walet di seberang rumah akan tampak lalu lalang. Beberapa orang datang silih berganti untuk membeli sarangnya. Sarang yang tentu saja ada karena ada waletnya.
Om Rudi, pemilik peternakan walet itu hampir setiap hari memberikan kejutan demi kejutan kepadaku dari atas gedungnya. Aku pun semakin bahagia. Tak ada mami tidak apa-apa. terlebih papi juga jarang pulangpun tak mengapa. Setelah Om Rudi memberikanku satu kejutan dari atas sana, sesaat kemudian seorang kurir akan memencet tombol bel rumah dan mengantarkan berbagai macam hadiah. mulai dari ice cream kesukaanku, mobil-mobilan, games terbaru hingga berbagai macam hadiah lainnya yang sekalipun kedua orang tuaku mampu membelikannya. Aku pun akan melambaikan tangan dan mengatupkan kedua tanganku sebagai ucapan terimakasih.
Bukan hadiah itu yang sesungguhnya aku harapkan. Hanya perhatian dan kasih sayang. Seperti perhatian dan kasih sayang Om Rudi yang ku kenal ketika pertama kali aku berlari pagi di kota ini. Kota yang memberikan banyak harapan saat aku terpaksa ikut hijrah bersama kedua orang tuaku disini. Di bumi lancang kuning namanya.
“Uhuk,!” Ku tutup kain gorden kamarku. Mentari tlah lama kembali ke sarangnya. Malam pun masih betah membuka pintunya. Beberapa lampu di rumah ini bahkan sudah dipadamkan sejak tadi. Aku pun menarik selimut. “Uhuk!”
*
“Amir!” Aku melongok ke arah pintu. “Kenapa kamu masih tidur? Sebentar lagi guru privat kamu akan datang! Kamu belajar dengan baik ya. Mami sebentar lagi juga harus terbang ke Jakarta. Oma minta mami untuk mengantarnya ke kebun teh Oma yang tengah bermasalah di Bandung.” Sepagi ini mami sudah mengeluarkan banyak peraturan. Bete.
“Amir gak mau belajar. Sekarang kan libur, Mami. Kalau libur itu ya libur. Amir mau santai-santai.” Aku menarik kembali selimutku.
“Lho, kamu itu harus belajar. Kalau di sekolah tidak belajar dan sekarang juga tidak mau belajar di rumah, mau jadi apa kamu?”
“Pokoknya gak mau.” Aku membantah.
Tanpa memedulikan apa kataku dan apa inginku, mami tetap saja pergi meninggalkanku. Mami tak memikirkan perasaanku. Sekalipun aku ini anak lelaki tapi aku tetap saja anak kecil yang masih harus diurus sama kedua orang tuanya. Mami tak pernah tahu bahwa ada banyak air mata yang aku lewati tanpanya.
Kak Iya pengasuhku kerepotan mengurusi aku yang mulai dan semakin nakal. Disuruh makan di rumah, aku tak makan. Disuruh belajar, aku meminta guru privat-ku untuk pulang saja dan memberikannya upah atas susah payahnya dia datang ke rumahku. Dilarang untuk keluar rumah, aku tetap keukeh untuk keluar. Aku bosan di rumah. Sudah lama aku tak keluar rumah bahkan untuk sekedar bermain-main di taman, mengamati anak-anak kecil seumuranku yang bebas berlarian dan jatuh bangun bersepeda.
“Bebaaaaassss...!” Aku berputar-putar. Tubuhku juga seakan merasakan kebahagiaan karena bebas dari pasungan. “Yeeeehaaa...!” Aku berteriak keras dan meninjukan tangan kananku ke atas. Ku hirup udara kebebasan ini dengan nikmat. Tak peduli bagaimanapun kondisi udara saat ini. Sekalipun semua berita di televisi, tulisan-tulisan di koran memberitakan bahwa indeks standar pencemaran udara (ISPU) sudah di atas angka 300 atau dalam kategori berbahaya. Bahkan terakhir ku ikuti, sore kemarin sudah mencapai angka 572. Itu artinya, mulai dari jam 15.00 WIB kemarin hingga 15.00 WIB nanti sore, ispu masih menunjukkan level berbahaya. Aku tak peduli. Waktuku hanya sedikit. Jika nanti mami dan papi pulang, mungkin hanya repetan yang akan aku dapatkan. Inilah waktunya untuk bebas.
“Om Rudi!” Aku memanggil Om Rudi dari kejauhan dan Om Rudi melemparkan senyumnya kepadaku. Aku berlari memeluknya. Erat, sangat erat. Tak pernah ku lakukan ini kepada kedua orang tuaku. “Akhirnya, kita bisa bertemu lagi dan aku bisa memeluk Om Rudi.” Om Rudi membelai kepalaku lembut. Setetes air hangat mulai mengalir di ujung mataku.
Om Rudi membawaku masuk ke dalam ruangannya. Aku diberikan kebebasan untuk mengambil makanan dan minuman yang aku inginkan dari lemari es di kantornya. Sementara Om Rudi sibuk dengan beberapa urusan mengenai waletnya, ia akan pergi sebentar menemui anak buahnya atau pelanggannya dan kemudian kembali lagi menemuiku di ruangannya.
“Bagaimana Amir? Bagus atau tidak?” Om Rudi menunjukiku sebuah lukisan indah yang aku tidak tahu siapa pelukisnya.
“Bagus. Bagus bingiiiittz, Om.! Siapa yang melukis?”
“Teman Om yang melukisnya. Tapi yang terpenting yang kamu harus tahu adalah lukisan ini bukan lukisan biasa. Lukisan ini merupakan kenangan terindah yang pernah Om rekam melalui kamera dan kemudian Om minta teman Om itu untuk melukisnya. Ini adalah festival walet nasional.”
“Ada festivalnya juga ya, Om?”
“Iya. Bulan depan akan ada festival walet nasional lagi di Makassar. Om akan ajak kamu.”
“Beneran, Om?” Om Rudi mengangguk yakin dan aku semakin senang mendengar kabar bahagia itu. Bersama Om Rudi itu sesuatu sekali. Hari ini aku diajarkan mengenal beberapa jenis sarang walet. Lalu diajarkan sarang walet jenis apa yang paling banyak diminati. Serta alasan mengapa orang-orang menyukai sarang walet dan tahan menghabiskan banyak rupiahnya untuk membeli sarangnya.
Keesokan harinya, aku belajar lagi bagaimana walet ini dapat hidup. Sambil santai-santai meminum segelas teh es, aku mengamati Om Rudi dengan walet-waletnya. Aku baru tahu ternyata keras perjuangan Om Rudi untuk merintis usahanya ini. Dari Pulau Jawa menuju Sumatera dan akhirnya menetap di Pekanbaru. Bagaimanapun keadaan Pekanbaru saat ini, ia tak akan pergi mengungsi ke tempat lain dan meninggalkan Pekanbaru.
“Huuh...”Aku melepaskan nafas. Rasanya sesak sekali. Tapi ku tahan. Aku harus bisa bertahan. Ini hanya penyakit kecil yang sangat kecil. Ku pasang masker yang sengaja ku simpan di saku celana. Kali saja berguna. Pikirku.
“Om, pakai masker dong. Asapnya makin pekat. Bau lagi ini, Om!” Pintaku pada Om Rudi.
“Amir saja yang pakai. Om tidak biasa pakai masker. Justru memakai masker itu akan membuat Om susah bernafas. Lagipula, Om ini kan sudah besar dan sudah terbiasa dengan alam yang begini. Tubuh ini sudah kebal.” Om Rudi kembali melanjutkan aktivitasnya. Aku hanya mengangguk mengiyakan.
Sebenarnya aku setuju dengan pendapat Om Rudi. Memakai masker justru bikin sesak nafas. Kalaulah bukan karena keduluan sesak nafas yang sudah menjadi bawaanku sejak lahir ini menunjukkan gejala-gejala bakal kambuh, mungkin aku juga tidak akan menggunakannya. Aku ingin bebas. Menggunakan masker sama saja dengan memasungku kembali pada dunia penuh aturan yang aturan itu sendiri dilanggar.
“Uhuk!” Batukpun menyertai nafasku yang tersengal-sengal. Aku kembali membuka maskerku. Baru sebentar saja ku gunakan, sudah membuatku tak nyaman. “Om Rudi, Amir pulang dulu ya! Besok Amir kembali lagi.” Kataku sambil melambaikan tangan layaknya anak gaul yang biasa bergaul di luar.
“Oke Amir. See you!” Om Rudi balik melambaikan tangannya padaku. Seperti itulah Om Rudi-ku. Tak pernah mengabaikan setiap gerakku. Aku berjalan sesengukan senang sambil bernyanyi. Untuk hari ini, sudah cukup puas bermainnya. Hari juga sudah mulai gelap. Kasihan Kak Iya. Aku melangkah ringan.
Bruk.
Ada suara jatuh. Langkahku spontan berhenti. Ku balikkan badanku. “Om Rudiiii!!!” Tubuh Om Rudi sudah rebah di lantai. Karena jatuh tiba-tiba dan terbentur keras ke lantai, darah dari kepalanya mengalir deras. Dengan segera anak buahnya mengangkat tubuh Om Rudi dan membawanya ke rumah sakit. Om Rudi dimasukkan ke ruang IGD. Aku menunggunya di pojokan ruang tunggu. Sendiri. Tak bergabung dengan anak buah Om Rudi. Sejenak menenangkan diriku sendiri. Anak kecil yang terpaksa harus dewasa dengan sendirinya.
Huuuh...dadaku semakin sesak. Mataku kabur. Pusing. Ruangan rasanya berputar-putar. Seorang dokter keluar dari ruangan. Anak buah Om Rudi terlihat sangat panik. Terlihat dari raut wajah mereka. Dokter menggelengkan kepala. Sementara itu, dadaku semakin sesak dan mataku semakin kabur. Susah untukku menghirup udara di ruangan ini. Perlahan aku berusaha membuka mata sambil memanggil-manggil Om Rudi. “Om, katanya kita mau ke festival walet bulan depan.”



Om Rudi dan Waletnya

by on Oktober 19, 2015
Ada mata yang tak berhenti menatap. dari balik jendela kamar di sebuah rumah mewah tingkat tiga. Dengan segala kelebihan yang ada, me...


Aku masih berdiri di bawah derasnya hujan. Tanganku tak bersedia melepas pelukannya yang masih hangat kurasakan. Tak peduli lalu lalang kendaraan dan pejalan kaki memerhatikanku aneh atau mengata-ngatainku seenaknya.
Tapi kali ini aku benar-benar sudah tak berdaya. Badanku rebah dan tak mampu berdiri lagi. Aku tenggelam dalam duka.
*
“Ada apa denganku?” kucoba membuka mata perlahan. Samar-samar kulihat Makmuk, sapaan akrab di keluargaku untuk kakak tertua dari Bunda. Memang juga karena badannya yang besar tinggi dan rada gemuk.
Makmuk membelai rambutku. Dia mengelap wajahku dengan sapu tangan yang telah dibasahi air terlebih dahulu. Barangkali wajahku terlalu kusam.
“Ayah, Mak!” Ai sayang Ayah, Mak!” Ujarku dengan nada memaksa diri. Aku berusaha berdiri tapi ditahan.
“Ai, kamu jangan lasak dulu ya. Makmuk sudah menyiapkan sarapan untukmu. Setelah itu kita baru bisa pergi.” Kata Sam yang sedari tadi juga berdiri di sampingku. Sam adalah tunanganku. Tapi kedepan aku tak tahu bagaimana kelanjutan kisah kami.
“Aku mau bertemu Ayah. Sekarang!” Teriakku. Makmuk dan Sam justru meninggalkanku seorang diri. Mereka seakan tahu bahwa aku butuh waktu untuk menenangkan diri.
Pandanganku menembus kaca-kaca yang selama ini tempat aku sering menanti hujan. Memandangi pepohonan rimbun di seberang jalan. Ada sebuah tambak ikan yang di sana ada sebuah kolam ikan dengan berbagi jenis ikan.
Biasanya aku dan Ayah sering memberi mereka makan. Tak lama kemudian Sam juga datang dan tak mau kalah membawa makanan ikan lebih banyak. Namun sayang, sudah dua minggu ini tak pernah lagi ada cerita tentang aku, Ayah dan Sam karena suasana telah berubah. Makin lama, pandanganku jauh merambati ruang dan waktu yang tak pernah aku inginkan. Di kepalaku hanya ada kalimat seandainya, seandainya dan seandainya …
*
Dalam siarannya malam itu, Sam sengaja menyapaku melewati gelombang udara. Entah berapa jauh jarak tempuhnya, yang pasti kecepatan udara adalah lebih cepat daripada terbangnya burung untuk menyampaikan pesan.
Sam memang pandai menyanjung siapapun lewat kata-katanya yang beraliran romantisme. Tapi tak seperti Kahlil Gibran yang sangat menyanjung cinta sekalipun kekasihnya telah lama tiada, katanya setia.
Buat seseorang yang sedang mendengar siaran ini
Special, kau selalu di hatiku
Meski sampai akhir hayatku
Tiada yang bisa mengisi hati ini
Just wanna you
Hope you will marry me
Gila ya! Kali ini Sam tak tanggung-tanggung mengatakan hal itu di depan umum. Tak bisakah menunggu sejenak. Bersabar sampai waktunya tiba. Baru dua minggu, dan baru saja aku berusaha bangkit mneghapus duka. Bahkan Sam tidak sanggup. Kalimat itu adalah desakan bagiku. Bukan baru sekali Sam mengatakannya dalam minggu ini.
Aku muak!
*
Pagi ini aku melompat secara diam-diam lewat jendela kamarku. Sebuah pot bunga berukuran sedang pecah tersenggol olehku. Tapi aman. Tak seorangpun yang menyadari.
Debu kota sepagi ini menghantarkanku menuju sebuah tempat yang hampir tiap hari kusambangi hingga malam. Rasanya tak ingin berpisah. Delapan belas tangkai mawar merah yang masih segar sengaja kubeli untuk kuberikan pada Ayah. Aku membeli mawar sebanyak itu karena Ayah menyukai angka delapan belas. Tanggal pernikahan Ayah dan Bunda sekaligus tanggal perpisahan mereka. Delapan belas mei mereka menikah dan setahun lebih satu bulan aku pun lahir. Tepatnya delapan belas juni. Beberapa menit setelah itu bunda menghembuskan nafas terakhirnya. Sebenarnya aku kembar dan saudara kembarku pun ikut Bunda. Itu sebabnya mengapa aku menjadi anak emas Ayah dan alhasil aku pun sangat dekat dan manja pada Ayah meski sebentar lagi aku akan menikah.
Wangi-wangi bunga kenanga semerbak menyambutku sejak langkah pertama tiba di tempat itu. Suasana masih sama. Hening. Hanya cicit burung yang mencari makan sesekali mengiringi langkahku.
Aku tiba di depannya. Gundukan tanah yang ditumbuhi rumput-rumput hijau serta nisan kayu yang mulai berlumut karena dua hari belakangan tak kubersihkan.
“Ayah, maaf aku baru menjenguk Ayah. Kemarin aku sakit dan Makmuk juga Sam tak mengizinkanku untuk menjengukmu.” Aku menancapkan bunga-bunga yang kubawa tadi. Ayah pasti senang. Batinku.
Aku mengelus-elus nisan Ayahku dan sesekali menyentuh tanah.
“Aku mencintaimu. Aku mencintaimu Ayah!” Kupeluk erat nisan Ayahku.
Di rumah Makmuk dan Sam heboh kehilanganku. Mereka mencari ke seluruh sudut rumah dan halaman. Berharap baramgkali aku masih berada di sekitar itu. Tapi Sam tahu bahwa aku pasti lari ke makam Ayah. Dan kali ini pun aku siap dengan segala resiko yang akan aku hadapi.
Secepat kilat Sam menghampiriku. Dia menemukanku pada posisi yang sama seperti hari-hari sebelumnya. Aku tengah berdansa sambil berkata : “Aku mencintaimu Ayah!”
Tepak….
Sebuah tamparan di pipi kananku.
Tepak….
Juga menyusul di pipi kiriku. Tapi aku berusaha menahan rasa sakit di tubuhku. Aku masih sabar dengan sikap kasarnya.
Sam makin agresif. Sebuah tali tambang coba ia ikatkan di tanganku. Kali ini aku tidak terima dia memperlakukanku seperti binatang. Aku mengamuk. Aku berontak dan kucabut nisan Ayah. Kupukulkan ke tubuhnya, ke kepalanya. Dia masih berdiri.
“Jangan bertindak bodoh, Ai! Aku ini tunanganmu, calon suamimu. Ayahmu sudah meninggal. Lupakan saja dia.” Teriak Sam sesuka hatinya.
Aku terus memukulnya tapi ia kebal.
“Kamu gila Ai!”
Aku berlari menjauh. Sam terus mengejarku.
“Hentikan kegilaanmu, Ai. Tak ada gunanya mengingat Ayahmu lagi. Hari pernikahan kita semakin dekat.” Tambah Sam.
Kata-katanya semakin membuatku geram. Kupecahkan botol air di makam Ayah dan kutancapkan ke perutnya saat Sam menangkap kembali tubuhku.
“Maaf Sam. Tidak terpikir olehku akan pernikahan kita melihat keegoisanmu.”
Darah segar mengalir dari perut Sam. Tak sedikitpun aku merasa kasihan padanya.
“Aku mencintaimu, Ai!” Kalimat terakhir yang Sam ucapkan. Dan aku tersadar atas apa yang telah aku lakukan.
Aku rebah di hadapan jasad Sam yang membiru.
Bukanlah cinta ketika orang yang dicintai tersakiti. Dan bukanlah cinta jika terlalu mencintai tanpa kesadaran diri.

BUKANLAH CINTA

by on Oktober 15, 2012
Aku masih berdiri di bawah derasnya hujan. Tanganku tak bersedia melepas pelukannya yang masih hangat kurasakan. Tak peduli lalu lalang...
Biarkan angin yang mengatakan pada malam
Betapa galau dan resahnya hati ini

            Dan menghentikan gerakan tangannya, kemudian berpikir sejenak. Sesekali ia menundukkan kepalanya. Tak lama kembali meluruskan kepalanya. Berulang kali ia lakukan. Ada hal yang tengah mengganjal pikirannya. Kemudian Dan mengalihkan pandangannya ke sudut kamarnya.
            Di kamar berukuran 2 x 3 meter itulah biasanya Dan bercengkerama dengan tumpukan gelas dan botol bekas air mineral yang ia kumpulkan dengan cara memungut di jalanan atau di beberapa warung di pinggir jalan, atau utamanya dari sampah kegiatan mahasiswa. Gelas dan botol bekas tersebut selanjutnya ia daur ulang menjadi beberapa produk yang bisa dipakai dan menarik seperti lampion, tempat tissue, tudung saji, bunga dan lain-lain. Hasil yang Dan peroleh dari daur ulang itu lah yang sedikit demi sedikit dikumpulkan, beberapa hasil digunakan untuk membiayai kuliahnya saat ini.
            Tapi tidak dengan kali ini. Dan sedang tidak ingin mengerjakan itu semua. Pikirannya suntuk. Tugas akhir skripsinya masih menggantung lantaran dosennya sedang tidak ada di dalam negeri. Sementara itu, Dan harus segera menyelesaikannya, mengusahakan untuk ikut ujian sarjana paling lambat akhir bulan ini. Jika akhir bulan ini Dan tidak bisa ikut ujian, maka ia harus memikirkan bagaimana caranya untuk membayar uang kuliah semester ini. Padahal harapan hati tak hanya itu, berkumpul bersama ayah dan ibu di bulan Ramadhan tahun ini adalah hal yang telah dihayal-hayalkannya seminggu belakangan.
            Ada buliran hangat yang ternyata telah mengalir di ujung mata pemuda sederhana itu.       Tangannya terus menengadah mengharap belas kasih sang maha pengasih. Tak seperti yang tampak dari luar, seorang lelaki bisa juga rapuh dan menangis tatkala menghadap sang pencipta dan merasakan keriduan yang mendalam pada kedua orang tua.
            “Bagaimana kabar Ayah dan Ibu?” kata Dan dalam hati.
“Aku merindukan kalian. Ya Rabb lindungilah mereka, berikan kesehatan kepada mereka dan berikan kesempatan padaku agar tahun ini bisa bertemu dengan Ayah dan Ibu.”
*
            Bulan telah dijemput pagi dan matahari menyinari kamar Dan. Ia bersiap-siap untuk berangkat dari kostnya. Tujuan utamanya adalah mengantarkan pesanan daur ulang ke toko Wak Aji yang seharusnya dia antar tiga hari yang lalu. Setelah itu rencananya akan ke kampus untuk mengintai keberadaan pembimbingnya.
            Baru saja Dan mengunci pintu kostnya dari luar, sebuah panggilan masuk yang berasal dari rumah.
            “Assalamualaikum.”
            “Waalaikumussalam, Nak.” Terdengar suara parau ibu. Hal itu membuat Dan mulai cemas.
            “Sehat, Buk?” tanya Dan sebenarnya tak ingin berbasa-basi.
            “Yah, seperti yang Dan dengar. Suara ibu memang sedikir serak karena beberapa malam ini menjaga Bapak.”
            “Memangnya ada apa dengan Bapak, Buk?”
            Ibunya diam beberapa saat. Seperti hendak berkata tapi terbata.
            “Buk!”
            “Bapakmu kemarin panas tinggi dan sudah dua hari ini tidak bisa bergerak.” Penjelasan singkat ibu sudah bisa Dan tangkap. Bapak terkena stroke dan ibu beberapa malam ini pastilah menangis.
            “Sekarang bagaimana kondisi Bapak, Buk?”
            “Sudah dibawa pulang tapi yah begitu lah. Bapakmu hanya terbaring di atas tempat tidur. Ibu tidak bisa kemana-mana.” Kalimat ibu yang barusan pun dapat Dan pahami bahwa ibu tidak dapat berjualan keliling desa atau di pasar karena mengurusi bapak.
            “Kak Rati dan suaminya dimana, Buk?”
            “Kakakmu sekarang sedang berusaha mencari kerja. Katanya ada lowongan jaga toko pakaian.”
            “Mas Adit, Buk?
            “Kakakmu kan belum jadi menikah lantaran bapak keburu sakit sebelum hari pernikahannya. Jadi, Nak Adit pun mengundur pernikahan mereka. Kakakmu yang memintanya dengan alasan agar dapat merawat Bapak.”
            Telepon dari ibu semakin menggerakkan hati Dan untuk segera menyelesaikan studinya dan kembali ke kampung halaman. Setidaknya, kehadiran Dan disana memberikan semangat hidup buat bapak dan biarlah Dan yang kerja. Wajah bapak membayangi hari-hari demi hari Dan.
*
            Akhirnya hari yang dinantikan tiba. Meski molor dari target rencana. Bulan ramadhan ini menjadi kekuatan tersendiri bagi Dan untuk segera menyelesaikan semua urusannya di kota ini. Bismillah….
            “Bagaimana keuntungan yang diperoleh masyarakat dari penerapan pengolahan sampah menjadi bahan daur ulang sebagai produk yang menarik?” seorang penguji bertanya pada Dan.
            Dan mencoba menjawabnya dengan lugas dan santai karena sehari-harinya ia sudah sangat akrab dengan yang namanya sampah terutama sampah plastik dari jenis gelas dan botol bekas. Disamping menyampaikan keunggulan dari produk daur ulang yang menarik tersebut, Dan juga menjelaskan keunggulan dari sifat-sifat yang dimiliki dari bahan daur ulang tersebut.
            Ada sedikit pertentangan antara dosen penguji karena Dan salah mengucapkan nama latin dari sampah yang digunakannya dan sifat kimianya. Tapi tak lama karena tertutupi dengan hasil yang menarik dan menjual yang ia bawa. Patokan harganya saja kini bisa mencapai ratusan ribu rupiah.
            “Setidaknya ini sebagai salah satu usaha kecil pribadi yang harapannya dapat menambah pemasukan keluarga dan yang terpenting adalah barang-barang yang tidak mudah terurai yang apabila dibakar akan menyebabkan banyak kerugian, kini bisa disulap menjadi berbagai macam hiasan sesuai dengan keinginan kita dan tetap memperhatikan sifat-sifat dari benda tersebut.”
            Sidang yang luar biasa istimewa baginya. Allah membukakan pintu kebahagiaan bagi hambanya yang sabar. Para dosen memberikan selamat kepada Dan atas prestasinya sebagai mahasiswa biasa yang luar biasa. Produk baru yang dibuatnya itu ia hadiahkan kepada dosen-dosennya.
            Pasca yudisium, Dan langsung menuju ke kampung halamannya. Ia tidak peduli dengan prosesi wisudanya. Yang terpenting ia telah resmi menjadi sarjana.
*
            “Dan, kamu sudah pulang, Nak?” haru biru suasana rumah. Tidak seperti dulu yang ketika Dan baru pulang dari sekolah saja bapak sudah menyambutnya dengan bangga. Bapak akan menepuk bahunya dan kemudian memeluk erat dirinya. Hari ini tidak. Jangankan untuk menepuk bahu atau memeluk dirinya, menggerakkan jari-jarinya saja seperti tampak berat sekali.
            Belum lagi kalau lebaran tiba, sewaktu kecil bapak datang membawa sebuah senapan untuk Dan. Dan dengan bangga menggunakannya dan bermain tembak-tembakan dengan bapak. Terkadang bapak akan menggendong Dan jika Dan tengah lelah berjalan atau sekedar numpang memancing di empang tetangga.
Dan mengenggam erat tangan bapaknya. Begitupun tangan ibunya. Dia cium tangan kedua orang tuanya.
“Bagaimana kuliahmu, Nak? tanya ibu.
“Alhamdulillah Buk, Pak, Dan kini sudah sarjana. Ini buktinya. Dan menunjukkan sebuah sertifikat sarjananya.” Dan menunjukkan dengan bangga. Tapi bapak dan ibu hanya menanggapinya datar.
“Apa rencanamu selanjutnya? Apakah nanti kamu akan kembali ke kota?” seperti ada gurat ketakutan akan kehilangan Dan.
“Insyaallah Dan akan coba melamar kerja di kecamatan Buk, Pak. Disamping itu, Dan tetap akan melanjutkan usaha daur ulang yang selama ini banyak membantu Dan.
“Alhamdulillah. Itu doa ibu dan bapak setiap teringat kamu, Nak. Kembalinya kamu ke desa ini akan membawa perubahan dan kemajuan bagi semua.” Nampak keceriaan di wajah ibu dan bapak. Semoga bapak cepat sembuh.
“Ramadhan, apakah kamu masih ingat dengan mbak Suzi anaknya Pak Anto?” tanya ibu dengan wajah yang membuat Dan curiga.
“Dia sudah menikah dengan seorang karyawan di PT.SAWIT DODOS dan juga sudah melahirkan. Anaknya dinamakan RAMADHAN, biar sepintar dan serajin kamu. Tentunya semulia bulan yang mulia ini.

DAN YA RAMADHAN

by on September 13, 2012
Biarkan angin yang mengatakan pada malam Betapa galau dan resahnya hati ini             Dan menghentikan gerakan tangannya, kemudia...